Udang masih menjadi salah satu primadona ekspor komoditas kelautan Indonesia. Kendati nilai ekspornya mencapai hampir USD 2 miliar atau sekitar Rp 28,5 triliun, angka tersebut rupanya masih tertinggal dibandingkan negara tetangga, salah satunya Thailand.
Padahal dari segala luas laut, Thailand masih kalah dari Indonesia. Mirisnya lagi negara kita masih belum ada perusahaan maritim besar berskala global,
“Indonesia itu negara maritim terbesar. Tapi tidak punya perusahaan berbasis maritim yang global itu tidak masuk akal. Selama ini perusahaan gedenya dapatnya dari tanah, dapat dari sawit, pertambangan, rokok dan lain-lain,” ujar Guntur Mallarangeng, CEO Delos saat berbincang dengan detikINET.
Setelah dipelajari, Guntur mendapati masalah tersebut bersumber dari produktivitas. Menurutnya jumlah tambak di Tanah Air tidak sedikit, sayangnya adopsi teknologi masih rendah, pengetahuan ilmiah soal udang dan kualitas air pun minim.
“Akibatnya membuat volume ekspor Indonesia sangat kecil, dan perusahaan di hilir pun kekurangan stok pasokan udang mentah,” ungkap Guntur.
Kondisi tersebut menggerakkan Guntur coba mengatasi masalah rendahnya produktivitas tambak udang di Indonesia. Menggandeng rekannya Bobby Indra Gunawan dan Alexander Farthing, mereka mendirikan Delos.
Delos merupakan startup budi daya atau aquatech. Kehadirannya untuk mengembangkan sebuah sistem pengelolaan tambak sehingga mampu membantu petani meningkatkan profitabilitas dan produktivitas tambak udang mereka.
“Delios akan membuat distruksi yang kami namakan revolusi biru sehingga produktivitas budi daya laut di Indonesia bisa meningkat dalam waktu yang cepat. Ini sejalan dengan program pemerintah peningkatan produktivitas hasil laut 250% dalam empat tahun,” kata Guntur.
Pakai Aplikasi dan AI
Saat ini tambak udang di Indonesia hanya bisa mencapai produktivitas rata-rata 5 – 10 ton per hektar atau 15 – 20 ton per hektar. Delos punya target mampu meningkatkannya menjadi 35-40 ton per hektar.
Untuk mencapai itu Delos membuat aplikasi bernama Aquahero. Aplikasi ini dibangun dari beragam sistem guna meningkatkan produktivitas yang kemudian disederhanakan agar petambak bisa menggunakan dengan mudah.
Namun Guntur menegaskan penggunaan aplikasi tidak serta merta membuat produktivitas terkerek, dibutuhkan pendamping. Tim pendamping ini akan sudah terlatih dan mengerti soal teknologi, keilmiahan dan standard operating procedure (SOP).
Mereka akan mendampingi petambak secara full time dalam pengambilan data sampling, analisis dan proses pengambilan keputusan. Selain itu membantu petambak melatih kebiasaan baru dan cara berpikir yang sebelumnya tebar dan berdoa menjadi berbasis ilmiah.
“Masih ada doanya, pastinya. Tetapi (kini) doa dibarengi dengan ilmiah dan usaha yang benar-benar berdasarkan ilmu yang telah dipelajari. Tentu itu akan ada dampaknya,” kata Guntur.
Delos terapkan aplikasi dan AI untuk meningkatkan produktivitas tambak udang. Foto: Delos
Delos pun turut membantu petambak mencari bantuan dana yang saat ini sangat sulit diraih petambak. Baik dalam bentuk modal kerja awal, Capex maupun pinjaman jangka panjang.
“Kami berencana agar aplikasi Aquahero dapat digunakan untuk melakukan pengajuan pinjaman, analisis data dan bahkan AI untuk pengambilan keputusan harian. Semua akan ada di aplikasi Aquahero,” terang Guntur.
‘Pikiran Terbuka’
Saat ini, Delos sudah memiliki anggota petani tambak udang dengan total area 70 hektar yang tersebar di Lampung, Jawa Barat, dan Jawa Timur. Namun mereka masih membuka lebar bagi para petambak yang ingin bekerja sama.
Kerjasama Delos dan petambak berdasarkan sistem bagi hasil. Untuk bergabung, Delos hanya mensyaratkan punya lahan tambak dan pikiran terbuka.
“Pikiran harus terbuka, itu penting, karena keputusan yang dianjurkan tim dan aplikasi bisa berbeda dengan bagaimana cara para petani menjalankan tambak udang mereka sebelumnya,” pungkas Guntur.