Fenomena siklus nodal bulan disebutkan bisa berpotensi memicu peningkatan banjir rob atau banjir pesisir, seperti yang terjadi di Semarang sejak Senin (23/5).

Peneliti Organisasi Riset Penerbangan dan Antariksa BRIN Thomas Djalaludin mengatakan potensi banjir rob itu diprediksi terjadi sekitar 2034.

Ia mengutip penelitian dari Badan Antariksa dan Penerbangan AS, NASA, yang mengungkap prediksi banjir rob lebih parah terjadi pada 2034 dalam siklus nodal Bulan.

“Ini [siklus Nodal Bulan] akan meningkatkan banjir pasang. Ini perlu diwaspadai pantai di Indonesia, khususnya di Pantura yang pantainya landai,” ujar Thomas secara virtual (2/6).

Sebagai informasi, saat ini pesisir Kota Semarang, Jawa Tengah dilanda banjir rob sejak Senin (23/5). Banjir mencapai ketinggian dua meter dan meluas ke beberapa daerah di sekitarnya seperti Demak.

Ia menjelaskan siklus nodal Bulan itu terjadi 18,6 tahunan. Ini merupakan dampak miringnya posisi Bulan 5 derajat dari ekliptika. Sehingga mengakibatkan air laut pasang maksimum.

“Tahun 2034 posisi Bulan itu dekat ekuator dan ini yang perlu diwaspadai bahwa banjir pasang akan lebih tinggi dibandingkan banjir pasang pada umumnya,” pungkasnya.

Thomas mengatakan potensi tingginya banjir rob ini bisa melanda sejumlah wilayah pesisir secara global. Namun tak terkecuali wilayah dangkal seperti Pantai utara (Pantura).

Kondisi ini, kata dia, bisa diperparah dengan adanya kenaikan permukaan air laut, yang diakibatkan pemanasan suhu global kemudian berdampak pada cairnya es di kutub dan gunung es.

Gabungan antara siklus pemanasan global dan siklus nodal itu, dijelaskan Thomas, bisa memperparah kondisi pesisir di Indonesia pada 2034.

“Kombinasi dari kenaikan air laut karena pemanasan dan siklus nodal yang diperingatkan AS pada 2034 ini akan meningkatkan banjir pasang,” tandasnya.

Dengan demikian Thomas mendorong masyarakat dan pemerintah melakukan mitigasi, merespons potensi siklus nodal Bulan yang diprediksi terjadi pada 2034.

“Mitigasi jangka panjang perlu juga dilakukan untuk mengantisipasi pemanasan global dan penurunan tanah wilayah pantai yang berpotensi makin sering banjir rob dan makin tinggi genangannya,” tuturnya.

Sebelumnya, banjir rob besar menimpa kawasan berikat Pelabuhan Tanjung Emas Semarang. Banjir diperparah dengan jebolnya tanggul di kawasan Pelabuhan Tanjung Emas.

Air pasang menguap ke daratan dengan ketinggian dua meter lebih, khususnya daerah di sekitar Pelabuhan Tanjung Emas, Semarang.

Laporan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) banjir rob di Semarang belum kunjung surut.

“Per 31 Mei data yang kami dapatkan belum surut. Khusus di Kota Semarang yang terdampak 4073 KK atau 14 ribu jiwa terdampak,” ujar Kepala Bidang Pengendalian Taktis dan Evaluasi Operasi BNPB, Riswandi secara virtual (2/6).

Penurunan Muka Tanah

Sementara itu, dalam kasus Semarang, pakar Geologi dari Institut Teknologi Bandung (ITB) Heri Andreas menyebut penurunan muka tanah (land subsidence) masih menjadi penyebab dominan banjir rob.

Menurutnya, angka penurunan muka tanah itu makin memperparah banjir rob di Semarang dan sekitarnya. Dia mengungkapkan penurunan muka tanah di daerah tersebut masih sangat besar.

“Ada yang [penurunan tanahnya] 10 cm, ada yang 20 cm. Kalau mau diambil rata-ratanya ya 10 cm per tahun,” kata Heri saat dihubungi CNNIndonesia.com, Selasa (24/5).