Ketika wabah Covid-19 melanda berbagai belahan dunia, sektor pariwisata Bali pun turut terdampak dan sempat anjlok. Akibatnya, banyak orang kehilangan pekerjaan.
Keterpurukan itu membuat sejumlah pemuda yang menggantungkan hidup dari sektor pariwisata mesti kembali ke kampung halaman mereka di Desa Gobleg, Buleleng. Nyaris tak ada pekerjaan lagi kecuali menjadi petani.
Dengan berbekal ilmu dan ide, sebanyak 20 pemuda membentuk komunitas Petani Muda Keren (PMK) serta menciptakan sistem “smart farming” alias “bertani cerdas” yang menggabungkan pertanian dengan teknologi.
Ide bertani cerdas ini tercetus lantaran tingginya biaya pertanian tradisional yaitu boros air, tenaga kerja mahal, dan waktu banyak terbuang, kata pendiri komunitas PMK, Anak Agung Gede Agung Wedhatama, kepada wartawan kantor berita Antara di Bali, Nyoman Hendra Wibowo.
Menurut Anak Agung Gede Agung Wedhatama, sistem pertanian cerdas itu memanfaatkan seperangkat alat elektronik berbasis digital dan “Internet of Things” (IoT) yang dikendalikan aplikasi telepon genggam sehingga tidak harus berjemur terus di kebun.
Ada beberapa sensor elektronik pada sistem itu, yakni sensor kelembaban tanah (kadar air tanah), sensor PH tanah (kadar asam/basa), sensor hujan, dan sensor udara menyangkut temperatur, kelembaban, tekanan, serta ketinggian lokasi kebun.
Sistem senilai Rp20 juta per unit tersebut dibeli secara swadaya dan dioperasikan sejak 2021 oleh para petani anggota PMK yang memiliki lahan pertanian hortikultura bervariasi antara 1.000 hingga 3.000 meter persegi.
Keunggulan sistem tersebut, antara lain penyiraman tanaman hanya membutuhkan waktu sekitar 15 menit secara merata melalui penyemprot air atau “sprinkler” yang dikendalikan aplikasi telepon genggam.
Jika dibandingkan dengan cara tradisional, penyiraman akan memerlukan waktu selama enam hingga delapan jam.
Dalam hal penanggulangan hama, sistem yang menggunakan panel surya dan baterai penyimpanan listrik itu bisa memberikan penerangan lampu malam hari untuk jebakan serangga secara alami sehingga meminimalkan penggunaan pestisida.
Kemudian waktu bercocok tanam juga bisa mengandalkan teknologi informasi.
Sebelumnya petani di desa tersebut bercocok tanam secara tradisional yang mengikuti musim. Namun sekarang sistem itu bisa memberikan informasi ke petani sehingga mereka dapat menentukan rotasi tanaman dan yang cocok dikembangkan sesuai kondisi yang ada.
Dengan demikian hasil panennya pun jauh lebih maksimal dan efisiensi biaya mencapai 70%. Contohnya, cabai merah besar sebanyak 1.600 pohon pada lahan 1.000 meter persegi hanya mampu menghasilkan panen sekitar dua ton jika ditanam dengan cara tradisional.
Hasilnya, panen pertanian cerdas ini bisa mencapai tiga ton karena perawatan secara terpadu dari hulu hingga hilir.
Meski demikian tentu ada pekerjaan yang mesti dilakukan secara manual yaitu penyiapan lahan, pengolahan tanah, pembibitan, dan saat memanen.
Selain menekuni lahan pertaniannya, komunitas PMK ini rutin memberikan pelatihan pertanian cerdas berbasis teknologi yang bernama Pusat Pelatihan Pertanian dan Pedesaan Swadaya (P4S) Petani Muda Keren (PMK) di bawah naungan Kementerian Pertanian RI.
Sistem pertanian cerdas tersebut juga menjadi percontohan dan ke depannya berpotensi sebagai destinasi agrowisata.