Film terbaru dari Semesta Sinema Marvel (MCU) Ant-Man and the Wasp: Quantumania menampilkan alam berukuran amat mungil yang megah. Para ilmuwan di dunia nyata pun ternyata sudah lama mempelajari dunia subatomik ini.
Ant-Man and the Wasp: Quantumania merupakan sekuel ketiga dari film superhero dengan kekuatan utamanya bisa berubah ukuran sesuka hati itu.
Petualangan terbaru Scott Lang (Paul Rudd) ini sendiri akan tayang perdana di layar lebar Indonesia hari ini, Rabu (15/2), dan di AS pada Jumat (17/2).
Dalam cuplikan terakhirnya, Marvel Studio memperlihatkan perjalanan protagonis Lang dan keluarganya ke Quantum Realm atau semesta quantum. Ia pun diperlihatkan berhadapan langsung sekaligus bernegosiasi dengan musuh utama di The Multiverse Saga MCU, Kang the Conqueror.
Semesta quantum sendiri digambarkan sebagai semesta lain di mana Lang menjadi berukuran sangat kecil, jauh lebih kecil dari biasanya, subatomik.
Benarkah semesta semacam itu ada?
Fisika mengenal mekanika kuantum yang menggambarkan perilaku partikel kecil yang penuh ketidakpastian.
Paul M. Sutter, profesor riset bidang astrofisika di SUNY Stony Brook University, mengatakan salah satu keanehan dari teori ini adalah tidak ada yang yakin apa yang mereka dapatkan sampai mereka melihatnya.
Misalnya, teori fisika mengatakan elektron bisa hadir dalam banyak keadaan sekaligus. Saat fisikawan melakukan pengukuran, elektron cuma “mengambil” salah satu dari keadaan tersebut.
Gagasan ini membingungkan, karena inti dari fisika adalah membuat prediksi tentang bagaimana perilaku benda-benda di alam semesta kita.
“Jika saya melempar bola kepada Anda, Anda dapat menggunakan pengetahuan fisika seperti hukum Newton untuk memprediksi ke mana bola akan pergi. Namun, jika saya melemparkan sebuah elektron ke arah Anda, Anda tidak akan tahu persis di mana ia akan mendarat,” kata Sutter, dikutip dari LiveScience.
Mekanika kuantum sendiri memberi kita satu alat untuk membuat prediksi atas hal tersebut secara tepat, yakni persamaan Schrödinger, dengan tetap berdasarkan prinsip ketidakpastian (Uncertainty Principles).
Persamaan Schrödinger menetapkan sesuatu yang disebut fungsi gelombang atau sederet kemungkinan untuk setiap partikel yang berkembang seiring waktu.
Ia memiliki nilai tinggi yang artinya kemungkinan kuat menemukan elektron, dan nilai rendah yang berarti sebaliknya.
Standar ini menjadi masalah ketika para ilmuwan benar-benar melakukan pengukuran. Saat mereka tidak melihat, fungsi gelombang berkembang dengan sendirinya menurut persamaan Schrödinger.
Ketika para ilmuwan melakukan pengukuran, fungsi gelombang ini “runtuh.” Fungsi gelombang menghilang dengan disertai partikel yang muncul di salah satu lokasi yang memungkinkan.
Belitan kuantum
Sutter menyebut beberapa interpretasi lain dari mekanika kuantum, terutama teori Many-Worlds Interpretation dan Pilot Wave, menyarankan fungsi gelombang dari perhitungan matematika dijadikan objek nyata.
Dalam interpretasi ini, tidak ada yang namanya pengukuran. Tidak ada proses khusus atau trik sulap yang membuat fungsi gelombang menghilang.
Ketika partikel berinteraksi, fungsi gelombang mereka tumpang tindih sebentar. Dalam mekanika kuantum, begitu ini terjadi, partikel-partikel itu akan selamanya terhubung.
Fungsi gelombang tunggal kemudian mewakili kedua partikel secara bersamaan hingga menjadi “belitan kuantum” (quantum entanglement).
Dikutip dari situs California Institute of Technology, fenomena belitan ini merupakan jantung dari fisika kuantum. Saat elektron-elektron atau foton terikat, mereka terhubung meski terpisah amat jauh.
Einstein menggambarkannya sebagai aksi seram dari kejauhan (spooky action at a distance).
Belitan ini dapat terjadi di antara ratusan, jutaan, dan atau lebih banyak partikel. Fenomena ini diduga terjadi di seluruh alam, di antara atom dan molekul dalam spesies hidup.
Ketika partikel-partikel itu terjerat, mereka masih bertindak sebagai satu kesatuan objek bak sekawanan burung.
Sutter menyebut itu kemudian mengarah ke satu fungsi gelombang umum (universal wavefunctional) yang menggambarkan keseluruhan kosmos dalam satu gerakan.
Walau menyatu jadi satu fungsi gelombang universal, Sutter menyebut keacakan tetap jadi sifat alami mekanika kuantum. Interpretasi-interpertasi berbasis teori di atas mengatakan bahwa fungsi gelombang terpecah setiap kali interaksi kuantum terjadi.
Ia pun membuka peluang terciptanya multimesta dalam level subatomik (multiverse quantum) akibat interaksi ini, dengan setiap semesta duplikat berisi salah satu hasil yang mungkin.
Sutter mencontohkannya dengan pengiriman elektron melalui layar dengan peluang 50:50 untuk naik atau turun. Dengan kata lain, ada satu alam semesta tempat elektron naik dan alam semesta dengan elektron turun.
“Karena pada dasarnya setiap interaksi pada tingkat tertentu adalah interaksi kuantum, ada alam semesta yang berisi setiap kemungkinan pilihan alternatif yang dapat Anda buat sepanjang hidup Anda,” ujarnya.
“Nyatanya, Anda terus-menerus terpecah pada saat ini, memecah dan membelah diri Anda menjadi beberapa salinan dengan setiap pilihan, setiap gerakan, dan setiap tindakan,” lanjut dia.
Masalahnya, tidak satu pun dari teori-teori fisika menjelaskan atau mendeteksi bagaimana sebenarnya pemisahan alam semesta ini terjadi dan seberapa cepat itu terjadi.
“Pertanyaan-pertanyaan ini adalah bidang penelitian aktif, jadi tidak jelas apakah multiverse kuantum benar-benar ada atau tidak,” aku Sutter.
Penerapan
Terlepas dari semua ketidakpastian fisika kuantum, ada satu hal yang pasti. Teknologi kuantum akan mengubah dunia!
Dilansir situs Lousiana State University, fisika kuantum sudah diterapkan dalam berbagai perangkat modern, seperti memori komputer dan ponsel, mesin pemindai magnetic resonance imaging (MRI), hingga desain obat.
Jonathan Dowling, profesor di Departemen Fisika dan Astronomi LSU sekaligus Ketua Fisika Teori Hearne, menilai potensi fisika kuantum amat banyak.
“Kami saat ini berada di tengah-tengah revolusi kuantum kedua,” katanya, “Revolusi kuantum pertama memberi kita aturan baru yang mengatur realitas fisik. Revolusi kuantum kedua akan menggunakan aturan ini dan menggunakannya untuk mengembangkan teknologi baru.”
Semua penelitian teknologi kuantum di LSU terbagi dalam tiga kategori umum berdasarkan fisika kuantum fundamental: penginderaan dan pencitraan kuantum, kriptografi dan komunikasi kuantum, serta komputasi kuantum.
Dari semua teknologi kuantum, komputasi kuantum dinilai jadi yang paling potensial. Dalam komputasi normal, informasi ditransmisikan melalui bit atau byte; pesan singkat yang ditulis dalam kode seperti Morse yang terdiri dari delapan bit, yang masing-masing bernilai 0 atau 1.
Dalam dunia kuantum, sebuah partikel dapat berada dalam kondisi superposisi, artinya bisa sama-sama bernilai 0 dan 1. Anda pun dapat menggunakan bit kuantum, atau qubit, untuk menghitung lebih banyak kemungkinan sekaligus.
Ketika partikel terjerat (entangled particle) digunakan untuk qubit tersebut, algoritma dapat menghitung tugas dengan kecepatan yang jauh melampaui kemampuan saat ini.
Dengan kata lain, saat komputer modern bisa menuntaskan tugas hitungan selama bertahun-tahun, komputer kuantum bisa menyelesaikannya dalam hitungan detik.
Kapan itu bisa terwujud? Illya Vekhter, profesor di Departemen Fisika dan Astronomi LSU, punya visi bahwa teknologi ini bisa diterapkan setidaknya setengah abad kemudian.
“Semua ilmu dasar yang perlu diketahui tentang silikon kita ketahui pada akhir 1960-an, dan baru setelah itu, para ilmuwan masih mengembangkan perangkat yang terus meningkat lebih dari setengah abad kemudian. Segala sesuatu yang mendasar tentang ponsel yang kita ketahui pada 1980-an,” tuturnya.
“Tugas fisikawan benda terkondensasi atau pakar teknologi kuantum adalah mempelajari apa yang dapat diubah menjadi perangkat 10, 20, atau 50 tahun kemudian,” urai dia.
Sumber : CNN [dot] COM