Studi terbaru mengungkap energi setara dengan 25 miliar bom atom terjebak di Bumi karena pemanasan global.

Hal tersebut terungkap dalam makalah yang diterbitkan pada 17 April di jurnal Earth System Science Data.

Sekelompok peneliti internasional memperkirakan antara 1971 dan 2020 ada sekitar 380 zettajoule (380.000.000.000.000.000.000 joule) energi terperangkap oleh pemanasan global.

Angka tersebut sangat besar bahkan ketika dibandingkan dengan energi nuklir. Pendapat tersebut datang dari ilmuwan iklim di University of Melbourne di Australia Andrew King dan ilmuwan iklim di University of New South Wales di Sydney Steven Sherwood.

Mereka menghitung 380 zettajoule setara dengan sekitar 25 miliar kali energi yang dilepaskan saat peledakan “Little Boy”, bom atom yang dijatuhkan di Hiroshima, Jepang, pada 6 Agustus 1945.

Menurut pakar, energi yang diserap oleh Bumi selama periode ini kemungkinan hanya setara dengan sekitar 60 persen dari total emisi gas rumah kaca, sehingga angka sebenarnya mungkin lebih tinggi.

Namun, jumlah energi yang begitu besar juga membingungkan, karena berdasarkan jumlah panas yang terperangkap di atmosfer, suhu global rata-rata seharusnya telah meningkat puluhan derajat sejak masa pra-industri, bukan 1 atau 2 derajat Celcius seperti saat ini.

Lantas, ke mana perginya semua energi ekstra ini?

Menurut studi tersebut, lautan menyerap sekitar 89 persen energi (338,2 zettajoule), daratan menyerap 6 persen (22,8 zettajoule).

Sisa sekitar 4 persen (15,2 zettajoule)-nya melelehkan bagian kriosfer (bagian dari sistem iklim Bumi yang meliputi salju, es laut, es air tawar, gunung es, gletser, serta lapisan es), dan hanya 1 persen (3,8 zettajoule) yang tersisa di atmosfer.

Sebagian besar panas yang diserap oleh laut terperangkap di bagian atas dengan kedalaman 1 kilometer lautan. Hal tersebut telah menghindarkan umat manusia dari dampak perubahan iklim sejauh ini.

Namun penyerapan itu juga menyebabkan peningkatan suhu permukaan laut secara besar-besaran. Dampaknya adalah percepatan pencairan kutub, kerusakan ekosistem laut, peningkatan kekuatan badai tropis, dan gangguan arus laut.

Sayangnya, King dan Sherwood menyebut lautan tidak akan melindungi planet kita selamanya. Keduanya meminta segera mengurangi emisi gas rumah kaca dengan cepat dengan dekarbonisasi (pengurangan penggunaan bahan yang mengeluarkan karbon seperti BBM) ekonomi global.

“Kita sedang berlomba, dan taruhannya sangat tinggi – memastikan iklim yang layak huni bagi anak-anak kita dan alam,” tulis mereka, seperti dikutip dari LiveScience.