Para ahli mengungkap hujan bisa memberi pengaruh baik pada kualitas udara karena faktor muatan listrik pada titik-titik air. Simak penjelasannya berikut.
Berdasarkan situs pemantau kualitas udara IQAir, Jakarta, per Jumat (16/6) pukul 09.04 WIB, menempati peringkat pertama kualitas udara terburuk dunia.
Dengan angka PM2.5 mencapai 71.8 µg/m³ atau 14,4 kali standar Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan nilai total 159, udara Jakarta masuk kategori Tidak Sehat (Unhealthy).
Pada saat yang sama, hujan mengguyur deras ibu kota, dan juga beberapa kota lainnya meski fenomena El Nino sudah mulai muncul.
Poorna Khanna, peneliti Manajemen Lingkungan di platform pemantau polusi realtime AQI, menyebut hujan mestinya menurunkan polutan udara yang paling umum, seperti partikel, dan menjadikan kualitas udara lebih baik secara drastis.
Fenomena ini disebutnya sebagai pengendapan basah (wet deposition), atau dikenal juga dengan pembilasan presipitasi, rainout, penghapusan basah, atau penghanyutan.
“[Fenomena] ini adalah proses alami yang menghilangkan materi melalui hidrometeor atmosfer, seperti hujan, hujan es, dan salju. Dia mengirim dan menyimpan pencemar ke tanah,” jelas dia, dikutip dari situs AQI.
Namun demikian, IQAIR menyebut “hujan kurang efektif dalam mengencerkan PM2.5.”
Hujan hanya membantu untuk mencairkan polutan udara dengan konsentrasi tinggi alias kasar (PM10), seperti debu, kotoran, dan serbuk.
“Hujan dapat membantu PM10 mengendap di tanah lebih cepat daripada partikel halus yang lebih kecil (PM2.5).”
Seberapa efektif?
Ahli mengungkap efektivitas hujan menghapus polusi tak bisa dipukul rata. Ada beberapa hal yang mesti dipertimbangkan, termasuk ukuran butiran hujan dan muatan listrik.
Hal itu terungkap dalam studi tim ahli kimia atmosfer di Massachusetts Institute of Technology (MIT) yang diterbitkan di jurnal Atmospheric Chemistry and Physics.
Penelitian dilakukan dengan mempertimbangkan berbagai variabel seperti ketinggian awan, ukuran tetesan hujan, diameter dan konsentrasi aerosol (zat padat halus atau cairan yang tersebar di udara).
Para peneliti melakukan eksperimen di Grup MIT Collection Efficiency Chamber, yakni ruang kaca setinggi 3 kaki (sekitar 0,9 meter) yang bisa menghasilkan tetesan hujan dengan laju dan ukuran terkendali.
Saat tetesan jatuh melalui ruangan, peneliti memompa partikel aerosol, dan mengukur kapan tetesan hujan dan aerosol bergabung atau menggumpal.
Tim kemudian menghitung efisiensi koagulasi (penggumpalan) hujan, yakni kemampuan tetesan untuk menarik partikel saat jatuh.
Secara umum, para peneliti menemukan bahwa semakin kecil tetesan hujan, semakin besar kemungkinannya untuk menarik partikel. Kondisi kelembapan relatif yang rendah juga mendorong terjadinya koagulasi itu.
Dan Cziczo, Profesor Kimia Atmosfer di MIT, mengungkapkan kunci pembersihan atmosfer oleh hujan terletak pada muatan listrik pada butiran atau tetesan air.
Ia juga menilai berbagai eksperimen “pada dasarnya melebih-lebihkan efek pembersihan hujan.”
Untuk mendapatkan gambaran koagulasi yang lebih akurat, tim Cziczo membangun ruang baru dengan generator tetesan tunggal, instrumen yang dapat dikalibrasi untuk menghasilkan tetesan tunggal pada ukuran, frekuensi, dan muatan tertentu.
Biasanya, generator tetesan memberikan terlalu banyak muatan ke tetesan. Untuk menghasilkan muatan listrik yang benar-benar dibawa oleh tetesan di atmosfer, tim menggunakan sumber radioaktif kecil untuk menghilangkan sejumlah kecil muatan dari setiap tetesan.
Tim kemudian memompa bagian bawah ruangan dengan partikel aerosol dengan ukuran yang diketahui.
Saat jatuh ke lantai, tetesan menguap, hanya menyisakan garam atau aerosol, jika terjadi koalgulasi. Partikel residu kemudian disalurkan melalui spektrometer massa partikel tunggal, yang menentukan apakah garam atau tetesan menarik aerosol.
Para peneliti menjalankan beberapa percobaan, memvariasikan kelembaban relatif ruangan, ukuran dan frekuensi tetesan, serta menghitung efisiensi koagulasi untuk setiap putaran.
Hasilnya, tetesan yang lebih kecil lebih mungkin menarik aerosol, terutama dalam kondisi kelembapan relatif rendah.
Margaret Tolbert, profesor biokimia di University of Colorado, AS, yang tidak terlibat dalam penelitian ini, menyebut penelitian tersebut memberi pemahaman yang lebih baik tentang isu perubahan iklim.
Salah satu ketidakpastian utama dalam proyeksi pemanasan global adalah bagaimana gas rumah kaca (GRK) memengaruhi pembentukan awan.
Pasalnya, awan memainkan peran utama dalam mempertahankan anggaran radiasi Bumi (banyaknya panas yang terperangkap atau yang lolos).
“Perbaikan dalam memahami mikrofisika aerosol pada akhirnya membantu memprediksi kualitas udara dan perubahan iklim, karena aerosol merupakan inti dari keduanya.”