Desa Cemarajaya, Karawang, Jawa Barat, terkikis oleh air laut akibat perubahan iklim dunia. Masyarakat pesisir yang tersisa di desa itu kini berjuang tanpa henti untuk membangun pertahanan guna melindungi rumah mereka.

Laut lepas menyapu area pantai, menenggelamkan sebagian besar wilayah desa Cemarajaya, yang terletak sekitar 80 kilometer timur laut Jakarta.

Kantor berita Associated Press merekam video wilayah desa tersebut pada Desember lalu.

Pulau Jawa, rumah bagi sekitar 145 juta orang, adalah pulau terpadat di dunia.

Para ilmuwan mengatakan sebagian pulau itu akan sepenuhnya hilang ke laut dalam beberapa tahun mendatang. Bagian lain dari wilayah Indonesia yang mengalami banjir terus-menerus kurang mendapat perhatian.

Menurut kepala desa Cemarajaya, area desa yang terletak enam kilometer dari pantai di sepanjang perbatasan desa itu telah terkikis dalam 20 tahun terakhir.

Warga Ella Setiaputri dan tetangganya mengisi karung pasir untuk ditumpuk di depan rumahnya, menjelang air pasang berikutnya.

Jalan utama di desa itu runtuh dua kali dalam enam bulan terakhir akibat air pasang, yang pertama pada Desember tahun lalu. Insiden serupa kemudian kembali terjadi pada April lalu.

“Saya sudah menghabiskan lebih dari 100 karung setiap hari. Butuh 20 karung setiap air pasang. Tapi tetap saja karung pasir, tidak kuat,” kata Ella.

Ermin Bin Wangi yang sempat berprofesi sebagai seorang nelayan mengaku pendapatannya dari melaut yang tidak bisa diandalkan, membuatnya harus mendirikan sebuah toko kecil di jalan utama.

“Saya tidak punya pekerjaan lagi, saya ingin membuka warung kecil, lalu jalan ambruk, sehingga toko saya tutup,” ujarnya.

Kini Ermin memilih memperbaiki jaring ikan untuk mengisi hari-harinya.

Edvin Aldrian, profesor di bidang meteorologi dan klimatologi di Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), mengatakan terdapat beberapa alasan mengapa area pesisir di utara Jawa menderima dampak yang cepat dan parah dari perubahan iklim.

“Peningkatan level permukaan air laut di Pantura mempunyai sejumlah tantangan. Yang pertama, area pantainya miring dan lautnya dangkal. Lalu, kami juga berurusan dengan laur yang memiliki karakteristik ombak tinggi yang muncul dua kali dalam sehari,” ujarnya.

Edvin menambahkan bangunan beton tidak cocok untuk wilayah pesisir dan menyarankan penggunaan solusi yang lebih ramah secara ekologi.