Banjir rob yang melanda wilayah Kota Surabaya beberapa hari belakangan disebut bukan hanya disebabkan pasang air laut saja. Tetapi juga dipicu oleh fenomena penurunan muka tanah yang ditemukan di Kota Pahlawan.
Dosen dan peneliti Departemen Teknik Geomatika Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya, Ira Mutiara Anjasmara mengatakan penurunan muka tanah hampir terjadi di seluruh wilayah Surabaya.
Hal itu, kata Ira, diketuai melalui pemantau menggunakan metode GNSS survei yang tersebar dititik-titik seluruh wilayah Surabaya sejak 2007. Pemantauan sendiri dilakukan secara periodik.
“Land subsidence (penurunan muka tanah) memang terjadi hampir di seluruh wilayah Surabaya. Tapi dengan catatan untuk dititik GNSS survey-nya,” ucap Ira dalam webinar Banjir Rob dan Penurunan Muka Tanah, Minggu (19/6).
Ira melanjutkan, berdasarkan pemantauan menggunakan Time-Series Analysis Interferometric Synthetic Aperture Radar (InSAR), wilayah Surabaya Utara mengalami penurunan muka tanah yang cukup signifikan dibanding wilayah Surabaya lainnya.
“Dari pengolahan dara Time Series InSAR, Terjadi penurunan tanah terutama di wilayah Surabaya Utara dan Surabaya Timur. Surabaya Utara ini penurunan tanahnya cukup signifikan meskipun tidak terlalu besar. Maksimal hanya 40 milimeter atau 4 sentimeter,” katanya.
Dari penelitian tersebut juga ditemukan beberapa ruas jalan yang mengalami kerusakan leveling, seperti di wilayah Kalianak, Kenjeran, hingga Arif Rahman Hakim. Hal itu, menurutnya juga diduga karena adanya penurunan muka tanah.
Ira menyebutkan penurunan muka tanah di Surabaya memang tidak sesignifikan seperti yang terjadi di Jakarta dan Semarang. Namun ada beberapa faktor yang bisa memicu penurunan tanah di kota-kota besar seperti Surabaya dan lainnya.
“Subsidence di kota besar terjadi karena penggunaan air tanah berlebihan. Tapi kalau dilihat di Surabaya jarang sekali yang menggunakan sumur. Sampai saat ini kami kekurangan data penggunaan air tanah di Surabaya,” ucapnya.
Faktor berikutnya adalah subsidence disebabkan karena adanya kontruksi infrastruktur yang masif di kota-kota besar. Termasuk di sejumlah wilayah Surabaya.
“Kalau kita lihat di Surabaya mulai banyak pembangunan gedung terutama di Surabaya Timur, beberapa tahun terkahir sangat masif sekali pembangunan apartemen dan gedung tinggi,”
Berikutnya adalah subsidence yang dialami karena konsolidasi alami dari tanah alluvium, kondisi geologi dan karena aktivitas tektoniknya.
“Kita tahu kalau secara geologi Surabaya didominasi oleh endapan alluvium. Yang berikutnya adalah subsidence karena aktivitas tektoniknya,” ucapnya.
Selanjutnya kata Ira, banjir rob dan penurunan muka tanah juga tak bisa lepas dari fenomena lain yakni kenaikan muka laut yang dipengaruhi oleh fenomena global climate change atau perubahan iklim.
“Secara global kejadian subsidence juga dipengaruhi oleh climate change, kenaikan muka laut tidak terjadi lokal, tapi terpengaruh global. Meskipun pencairan es di kutub, tapi juga berpengaruh di wilayah di ekuator seperti Indonesia,” kata dia.
Senada, Prakirawan BMKG Maritim Tanjung Perak Surabaya, Fajar Setiawan mengatakan, kenaikan muka air laut tidak hanya karena dua parameter yakni pasang surut secara astronomi dan secara meteorologi. Tapi di lain sisi juga ada kenaikan muka air laut akibat perubahan iklim yang jadi fenomena global.
“Secara global akibat mencairnya es di Kutub Utara tapi dampaknya juga dirasakan di tempat kita. Ploting hasil amatan kenaikan muka air laut global dari 1993 sampai 2022 itu memang terjadi kenaikan muka air laut setinggi 100, 8 milimeter,” kata Fajar.
BMKG memprediksi Surabaya bakal kembali diterjang banjir rob pada pada 14 Juli 2022 pendatang dan 23 Desember 2022.