Usul Badan Legislasi DPR menghilangkan pasal larangan iklan rokok di RUU Penyiaran menuai protes dari beberapa pihak karena dikhawatirkan dapat mendorong kebiasaan merokok di kalangan anak muda.
Pada Februari 2017 Komisi I DPR mengajukan rancangan ketentuan larangan iklan rokok namun Badan Legislasi (Baleg) DPR justru merekomendasikan agar ketentuan larangan iklan rokok tersebut dihilangkan.
Dengan demikian maka iklan rokok, saran Baleg DPR, tetap boleh disiarkan namun dengan membatasi jam siaran. Saran yang menuai reaksi protes dari berbagai pihak.
Tulus Abadi, Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), menilai, “Rekomendasi Baleg tersebut lebih didasari oleh kepentingan industri, dengan mengabaikan visi perlindungan anak dan remaja yang harus dijaga.”
Sementara Komnas Pengendalian Tembakau mengecam Baleg DPR yang dianggap tidak memperhatikan hak rakyat atas kesehatan dan pemenuhan HAM.
Sedangkan Muhamad Joni -anggota Dewan Pengurus Bidang Hukum Komnas Pengendalian Tembakau- menegaskan akan mendesak Komisi I DPR untuk mempertahankan pasal larangan iklan rokok di RUU penyiaran, yang melingkupi siaran televisi dan radio.
“Sebab itu hak dan politik hukum yang sudah diambil Komisi I. Posisi itu justru tepat dan menjamin hak kesehatan dan HAM,” kata Joni.
Joni juga mempertanyakan mengapa Baleg selalu merekomendasikan hal yang sama dengan tetap ingin agar iklan rokok tetap ada.
“Apa motivasi dan kepentingan anggota Baleg dalam hal ini?” tanyanya.
Kampanye iklan rokok dinilai menyasar anak-anak dan remaja yang berdampak pada peningkatan kebiasaan perokok anak dan remaja secara signifikan mengingat -kata Komnas Pengendalian Tembakau- anak-anak sangat mudah terpapar iklan rokok di media penyiaran, terutama televisi, meskipun ada pembatasan jam tayang.
Tren iklan digital
Pakar pemasaran Yuswohady setuju bahwa media memegang pengaruh paling besar bagi anak muda namun pada saat bersamaan pengaruh televisi saat ini sudah menurun.
“Faktor yang paling dominan menurut saya adalah gawai, melalui gawai kita bisa akses ke manapun, termasuk informasi ke rokok atau informasi iklan rokok.”, kata Yuswohady.
“Pengaruh paling besar di digital. TV semakin tidak banyak ditonton.”
Bima Poetiray, seorang remaja berusia 15 tahun membenarkan terjadinya pergeseran atas kamu muda belakangan ini lebih terpapara dengan media internet.
“Biasanya di internet dan billboard. TV jarang lihat”, kata Bima.
Meski begitu Bima berkata bahwa dia tidak terpengaruh dengan iklan rokok karena ‘sudah tahu bahayanya;.
“Sudah tahu risiko kesehatan kalau ada nikotin, tar, kan bahan-bahan berbahaya”, kata Bima.
Namun mungkina Bima termasuk yang ‘langka’ karena menurut Yuswohady pihak-pihak sponsor acara tertentu juga efektif menjaring perokok baru di kalangan usia muda berhubung kelompok tersebut mudah dipengaruhi oleh informasi di sekitar mereka.
Pelarangan penuh iklan, promosi, sponsor rokok
Meski penggunaan digital meningkat, anggota Koalisi Nasional Reformasi Penyiaran, Nina Armando, yakin bahwa pengaruh televisi masih sangat besar di masyarakat.
“Penelitian-penelitian terakhir masih menunjukkan angka penggunaan televisi yang besar”, kata Nina.
“Pengalaman dari negara lain, kalau ada pelarangan iklan rokok, maka yang pertama kali dilarang adalah media televisi karena paling berpengaruh.”
Nina -yang juga menjabat Ketua Yayasan Pemerhati Media Anak (YPMA)- menambahkan bahwa untuk media digital, kelompoknya sudah meminta Kementrian Komunikasi dan Informasi agar mengatur media internet.
Selain itu, mereka juga mendesak pemerintah untuk meratifikasi Konvensi Kerangka Pengendalian Tembakau (Framework Convention on Tobacco Control), yang salah satu ketentuannya adalah pelarangan penuh iklan, promosi, maupun sponsor dari perusahaan rokok.