Memuliakan Bidadari dari Surga Terakhir di Bumi

0
1884

Sang Hyang Dedari, jejak budaya agraris pra-Hindu yang dihelat kembali demi memulihkan Bali.

Lima Dedari berkenan turun ke Bumi untuk menari pada malam itu. Gadis-gadis kecil itu kerasukan dan menari dengan lentur mengikuti nyanyian sakral. Pada lirik tertentu, satu penari tampak menggerutu sambil memanggil para pemuda agar mendirikan tiang bambu. Penari lainnya menari dengan gerakan kayang di bambu.

Para penari Sang Hyang Dedari adalah gadis suci yang belum mencapai pubertas atau belum menstruasi. Mereka menari dalam kondisi kerasukan, diiringi mantra nyanyian. Proses itu dilalui dengan menghirup asap kemenyan, sehingga mereka kehilangan kesadaran.

Tarian ini dipentaskan ketika tanaman padi mulai berbuah, tujuannya untuk meminta restu kepada bidadari supaya dijauhkan dari musibah dan wabah. Kendati saat mementaskan tarian ini para gadis laksana para bidadari yang turun dari kayangan, dalam kehidupan sehari-hari mereka merupakan anak-anak biasa.

Sang Hyang Dedari menunjukan pola bermasyarakat yang sangat memuliakan alam. Ritual sakral ini menjadi bukti wujud religi awal peradaban Bali pra-Hindu. Keyakinan diturunkan lewat penuturan, berkisah tentang tubuh yang menari untuk memuja alam sebagai penjelmaan Sang Pencipta.

Gerakan 1 para penari Sang Hyang Dedari bermain di batang bambu yang telah disucikan oleh para warga. Dalam tahap ini, gendingan Sang Hyang Dedari mengisahkan betapa cerianya para bidadari bermain-main di taman bunga.

Gerakan 2, 3, dan 4 merupakan gerakan dasar para penari Sang Hyang Dedari saat mereka mulai masuk ke dalam trance. Mereka mengibaskan tangan kanan dan kiri bersamaan dengan selendangnya. Tubuh mereka dimiringkan lalu dengan jemari yang lentik memainkan selendangnya.

Gerakan 5 dan 6 para penari meniru padi yang melengkung di saat mendekati panen, tubuh mereka yang lentur dilengkungkan ke depan lalu kebelakang seperti padi yang benihnya mulai menguning.

Gerakan 7 bersandar pada bambu menjadi simbol kebahagiaan para bidadari yang lincah bercanda ria. Mereka bergerak kesana kemari, dan selalu bermain-main.

Gerakan 8 saat penari memanjat tiang bambu, atau disaat melilitkan diri, adalah atraksi kekuatan para bidadari. Gendingan menceritakan bagaimana para Bidadari berada tinggi di angkasa dapat menyaksikan berbagai macam pemandangan, termasuk samudera yang begitu luas.

Kendati gerakan-gerakan ini memiliki pola tertentu, gerakan para penari satu dengan yang lainnya tidak berjalan serempak. Masing-masing penari kerasukan dan bergerak liar dengan mata tertutup dan tidak dapat ditentukan durasi masing-masing pembabakan. Inilah tarian trans, yang dipentaskan tidak melalui latihan terlebih dahulu. Sebab gerakan ini merupakan gerak hati—timbul tanpa pertimbangan—yang diyakini dipicu oleh para bidadari yang merasuk.

Kini, tarian ini nyaris punah di Bali, seiring dengan memburuknya lingkungan hidup dan eksploitasi terhadap alam demi keuntungan ekonomi semata. Pada 2015, UNESCO mengakui Sang Hyang Dedari bersama delapan tarian asal Bali lainnya sebagai warisan tak benda milik dunia.

Perjuangan masyarakat Desa Geriana Kauh adalah kisah heroik. Mereka bergotong- royong melindungi alam yang mereka cintai. Memburuknya lingkungan hidup dan eksploitasi terhadap alam demi keuntungan ekonomi semata merupakan problem yang semakin mengancam pulau para dewa ini. Bali membutuhkan gerakan desa yang mengusung kearifan lokal dengan mengutamakan keberlanjutan. Sejak sepuluh tahun silam, warga Geriana Kauh kembali mementaskan tarian sakral Sang Hyang Dedari demi merawat dan meruwat kehidupan yang seimbang.

Meski kondisi alam di Bali tengah terkepung oleh pembangunan yang tidak ramah lingkungan, saya berkesempatan menyaksikan warga di beberapa desa sedang bekerja keras memulihkan lingkungan hidupnya. Ritual Sang Hyang Grodog, misalnya, dua tahun terakhir ini telah dibangkitkan di Nusa Lembongan. Tujuannya, membangun kepekaan terhadap pelestarian laut beserta ekosistemnya. Warga setempat berangsur mulai beralih menggunakan teknik-teknik perikanan yang berkelanjutan.

Semoga semesta turut merawat dan melestarikannya!

Saya bersama fotografer Nyimas Laula beberapa malam mengikuti persiapan dan pentas sakral Sang Hyang Dedari di Dusun Geriana Kauh, Karangasem. Pendokumentasian ini terkait salah satu program Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya bersama National Geographic Indonesia. Kami bercerita dalam tajuk “Menjemput Sang Bidadari” yang terbit di National Geographic Indonesia edisi Juli 2017.

(Saras Dewi, Departemen Filsafat FIB-UI)