Krisis Rohingya: Mengapa Aung San Suu Kyi tidak beraksi?

0
1225

Aung San Suu Kyi pernah menjadi simbol bagi demokrasi. Sosoknya intelek, berwawasan luas, luwes dalam berbicara, dan fotogenik.

Dihadapkan dengan pribadi Suu Kyi, para jenderal yang menguasai junta militer Myanmar tidak bisa berharap menuai tanggapan positif dari media internasional.

Para wartawan yang pernah bekerja secara diam-diam di Myanmar ingat betul upaya menghindari sorotan polisi rahasia dan mata-mata. Kami dibenci junta militer dan, sebaliknya, disambut gembira oleh gerakan prodemokrasi.

Manakala saya pertama kali berjumpa dengan Aung San Suu Kyi, setelah dia dibebaskan dari penahanan rumah pada Juli 1995, dia adalah tokoh kedua di dunia yang menjadi simbol perlawanan terhadap tirani setelah Nelson Mandela.

Media internasional mencatat bagaimana Suu Kyi berhadapan langsung dengan para serdadu yang menodongkan senapan mereka ke arahnya.

PBB dan sejumlah organisasi lainnya mendesak Myanmar membebaskan dia dari penahanan rumah dan berupaya keras agar hal itu terwujud.

Kami, para wartawan, mendengarkan orasi Suu Kyi di depan para pendukungnya yang berkumpul di gerbang rumahnya mengenai perlunya toleransi dan disiplin.

Dalam wawancara saya dengan Suu Kyi pada era 1990-an, dia berulang kali menekankan pentingnya non-kekerasan.

Dari saya yang pernah bertugas di Afrika Selatan, dia selalu ingin tahu bagaimana Partai Kongres Nasional Afrika (ANC) sanggup bertransisi menjadi kekuatan dominan di negara tersebut.

Frasa ‘bebas dari rasa takut’ diulang-ulang dan menjadi judul buku terlaris.

Kalimat semacam itu menarik didengar oleh wartawan dari negara-negara Barat, termasuk saya. Saat itu, banyak wartawan di Myanmar adalah jurnalis veteran yang pernah bertugas meliput di tempat-tempat terjadinya serangkaian tragedi, seperti Rwanda dan Balkan.

Setelah menyaksikan genosida dan pembersihan etnik, kami terinspirasi oleh kata-kata yang keluar dari mulut Aung San Suu Kyi.

Rivalitas etnik yang kompleks

Dalam dunia yang dibuat kelam oleh aksi-aksi Slobodan Milosevic dari Serbia, Franjo Tudjman asal Kroasia, dan gerakan Hutu di Rwanda, Aung San Suu Kyi dipandang sebagai juru damai.

Akan tetapi, kami terlalu sedikit mengetahui Myanmar serta sejarah rivalitas antaretnik yang diperparah oleh kemiskinan dan manipulasi junta militer selama berpuluh tahun. Dan kami sedikit paham tentang sosok Aung San Suu Kyi.

Kami tidak memperhitungkan kekeraskepalaan Suu Kyi—yang menolak tunduk di bawah kekuatan junta militer—akan sama kuatnya dalam menghadapi kritik dari luar negeri jika dia suatu saat berkuasa.

Bahwa kekuatan terbesarnya saat menghadapi kesulitan sejatinya bisa membuktikan kelemahannya. Sahabat dan rekan lama Suu Kyi dalam pergerakan hak asasi manusia dunia serta politikus yang sebelumnya simpatik berubah menjadi sangat kritis terhadapnya.

Siapapun yang menghabiskan waktu lama bersamanya paham bahwa mengubah jalan pemikirannya ketika dia sedang menjalani aksi adalah sangat sulit.

Desember 2016 lalu, ketika Vijay Nambiar, perwakilan khusus PBB untuk Myanmar, mendesak Aung San Suu Kyi berkunjung ke negara bagian Rakhine, dia ditolak mentah-mentah.

Pembersihan etnik

Sebagaimana yang pernah dikatakan salah satu orang dekat Suu Kyi kepada saya, “Dia tidak akan pernah terlihat melakukan apa yang Nambiar katakan kepadanya.”

Aung San Suu Kyi pun tidak pernah mengakui bahwa etnik muslim Rohingya menjadi korban pembersihan etnik, walaupun puluhan ribu orang Rohingya terpaksa mengungsi setelah rumah mereka dibakar di tengah laporan adanya pembunuhan dan kekerasan seksual.

Ini bukan pertama kalinya Suu Kyi menerima kritik soal Rohingya.

Sikapnya persis sama dengan peristiwa lima tahun lalu tatkala 100.000 orang Rohingya terusir dari kampung mereka.

Daw Suu, sebutan hormat rakyat Myanmar terhadapnya, tidak bertandang ke Rakhine atau berbicara blak-blakan membela kaum minoritas yang dipersekusi.

Walau pemerintah Myanmar telah menentang ucapan kebencian dari kelompok ekstremis Buddha, Suu Kyi belum menunjukkan sikap dukungan terhadap kaum Muslim seperti yang pernah dilakukan idolanya, Mahatma Gandhi dan Jawaharlal Nehru, saat pemisahan India diwarnai kekerasan.

Gandhi membayar dengan nyawanya dan kekerasan tetap berlangsung. Kendati begitu, pada akhirnya, Gandhi maupun Nehru telah memberikan nilai-nilai yang mereka harapkan muncul dari pemisahan India.

Peristiwa ketika Nehru menerjang kerumunan umat Hindu untuk mencegah kekerasan sektarian menjadi salah satu aksi keberanian yang dikenang dalam abad ke-20.

Tiada seorang pun yang berharap Aung San Suu Kyi melakukan aksi ‘berani mati’ seperti itu. Namun, saat dia bahkan tidak melontarkan intervensi dalam bentuk retorika, para penyokongnya tidak habis pikir.

Penderitaan kaum Rohingya adalah bentuk tragedi. Namun, kepulan asap di Negara Bagaian Rakhine menjadi pertanda bahwa militer bebas meneruskan aksi brutal sejak dulu, tidak mempedulikan apa kata dunia.

Aksi terhadap etnik Rohingya saat ini mengingatkan penduduk Myanmar di negara bagian Shan dan Karen bahwa mereka pernah mengalami hal serupa.

Perisai politik

Aung San Suu Kyi tidak mengendalikan militer dan mereka pun tidak percaya kepadanya. Akan tetapi, penolakannya untuk mengecam penyiksaan yang dilakukan militer memberikan perisai politik bagi para jenderal.

Aung San Suu Kyi tidak hanya berdiam.

Diplomat-diplomat bawahannya tengah melobi Rusia dan PBB untuk mencegah kritik diarahkan kepada pemerintah Myanmar di Dewan Keamanan PBB. Suu Kyi sendiri mencap aksi kekerasan terkini sebagai masalah terorisme.

Suu Kyi tetap bersikap keras kepala dengan menyatakan kritik terhadap pemerintah Myanmar tidak berdasarkan bukti nyata.

Pertanyaannya kini, apakah komitmen Aung San Suu Kyi terhadap hak asasi manusia universal yang dulu pernah dia nyatakan tidak akan pernah mencakup etnik muslim Rohingya di negara berpenduduk mayoritas Buddha?

Pertanyaan itu belum dia jawab dengan mendesak militer mengakhiri penyiksaan terhadap etnik Rohingya. Saat ini, pertanda dia akan melakukannya amat minim.

Sumber : bbc.com