Pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Wapres Jusuf Kalla selama tiga tahun terakhir memperlihatkan kemajuan di bidang politik dan hak asasi manusia, menurut Menkopolhukam Wiranto.
Di gedung Bina Graha, Jakarta, Kamis (19/10), Wiranto menilai Indonesia membaik sebagaimana tampak dari indeks persepsi korupsi, indeks pembangunan hukum, dan indeks demokrasi.
“Melalui indikator-indikator yang ditetapkan dalam suatu proses demokrasi, maka kita bisa menentukan indeks demokrasi Indonesia,” kata Wiranto.
Dari indeks demokrasi tersebut, Wiranto mengatakan tingkat demokrasi di Indonesia “secara umum masih dalam kategori sedang” dan menambahkan ada fluktuasi dalam beberapa tahun seiring dengan aktivitas politik dalam wujud pilkada dan pemilihan presiden.
“Berbicara masalah partisipasi pemilih, sebenarnya ada peningkatan yang cukup bagus. 2016 itu kita 69,2%, 2017 meningkat jadi 74,5%. Ini juga merupakan indikator bahwa tingkat demokrasi, kesadaran demokrasi, kesadaran berpolitik masyarakat meningkat. Jika keasadaran berpolitik meningkat, biasanya partisipasi politik juga meningkat,” papar Wiranto.
Tanggapan
Bagaimanapun, indeks demokrasi tersebut tidak bisa dijadikan patokan tunggal bahwa kondisi demokrasi di Indonesia membaik. Aditya Perdana, Kepala Pusat Kajian Politik Universitas Indonesia, menilai penyelenggaraan negara bukan hanya terbatas pada indeks korupsi, hukum, dan demokrasi, yang pada dasarnya cuma angka semata.
“Indeks demokrasi itu angka statistik yang menunjukkan kebebasan berpendapat, kebebasan berserikat, partisipasti politik dan sebagainya. Sebenarnya dari sisi itu memang baik, tapi kalau lihat lebih dalam lagi ada begitu banyak masalah yang tidak mencerminkan yang sesungguhnya terjadi,” tutur Aditya.
Masalah-masalah itu, menurut direktur lembaga Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, tercermin dalam berbagai kasus pelanggaran HAM dan kebebasan berpendapat.
Ingin penanganan HAM yang cepat
Di bidang hak asasi manusia, Wiranto mengklaim bahwa pemerintah telah berupaya menyelesaikan persoalan mengenai pelanggaran HAM di berbagai daerah, termasuk di Papua.
“Penanganan kasus HAM Papua. Saya sampaikan bahwa kita sungguh-sungguh, bukan mengabaikan, bukan lelet, ingin betul. Kalau bisa segera selesai, saya lebih senang, kita lebih senang, pemerintah lebih senang. Jadi jangan sampai ada suatu kecurigaan bahwa ini sengaja pembiaran. Tidak ada! Kita juga ingin cepat selesai. Tapi ternyata kita terkendala selalu dengan masalah pembuktian dan kesaksian,” kata Wiranto.
Tanggapan
Pernyataan tersebut dianggap direktur lembaga Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, sebagai pengakuan bahwa pemerintahan Jokowi-JK telah gagal memenuhi janji semasa kampanye.
“Ini justru merupakan pengakuan atas kegagalan pemerintahan Jokowi dan Jusuf Kalla dalam menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia. Presiden Joko Widodo menyatakan komitmennya bahwa ruang partisipasi dan kontrol publik harus tetap dibuka sehingga lembaga pemerintahan menjadi semakin akuntabel. Itu kalimatnya pak Jokowi dalam dokumen Nawacita. Tidak ada yang terwujud, dengan berat hati kami harus katakan,” kata Usman.
Usman merujuk peristiwa tewasnya empat anak muda dan puluhan lainnya luka-luka di kota Enarotali, Paniai, Papua, pada Desember 2015. Insiden itu terjadi setelah aparat keamanan -Polri dan TNI- melepaskan tembakan ke arah para pengunjuk rasa yang marah atas insiden pemukulan seorang anak Papua oleh aparat TNI sehari sebelumnya.
Presiden Jokowi segera mengeluarkan pernyataan akan mengusut tuntas kasus penembakan ini -kasus pelanggaran HAM serius pertama yang terjadi di masa pemerintahannya- dengan menjanjikan suatu investigasi yang menyeluruh.
“Hingga hari ini tidak ada satu pun terduga pelaku yang bertanggung jawab yang dibawa ke muka hukum. Malahan pada 2 Agustus 2017 terjadi kembali penembakan oleh Brimob di Kampung Oneibo, Kabupaten Deiyai, Papua yang mengakibatkan beberapa orang terluka dan satu orang tewas.”
Pada Mei 2017, Menteri Luar Negeri RI di muka sesi UPR Dewan HAM PBB menyatakan bahwa penyidikan kasus Wasior 2001 dan Wamena 2003, keduanya di Papua, akan ditindaklanjuti oleh Kejaksaan Agung.
Akan tetapi, Komisioner Komnas HAM, Sandra Moniaga, mengaku “progress yang ada sangat kecil” kendati, di dalam Nawacita, presiden punya komitmen untuk menyelesaikan pelanggaran HAM berat.
“Di masa pemerintahan Jokowi-JK, kondisi agak berubah. Tahun-tahun sebelumnya Komnas Ham dan kejaksaan Agung hanya bolak-balik berkirim surat. Komnas HAM periode yang lalu meyampaikan hasil penyelidikan, oleh Kejaksaan Agung dikembalikan lagi. Terus bolak-balik,” kata Sandra.
“Kini, Kejaksaan Agung membuka diri, bisa dialog. Ada suatu proses Komnas Ham dan Kejaksaan Agung duduk bersama. Namun, belum ada kesepakatan untuk melangkah lanjut,” tambahnya.
Selain kasus HAM di Papua, Amnesty International menyoroti penutupan sejumlah tempat ibadah umat Kristen dan Ahmadiyah, tuduhan penodaan agama terhadap anggota Gafatar, pembubaran kegiatan yang berkaitan dengan Peristiwa 1965, dikeluarkannya Perppu Ormas, dan keberadaan tahanan politik.
Setelah membebaskan aktivis politik Papua, Filep Karma, Presiden Jokowi berjanji membebaskan tahanan-tahanan politik. Namun, Amnesty International mencatat pada akhir 2014 terdapat 60 tahanan politik, sementara sampai Oktober 2017 terdapat 30 tahanan politik.
Sumber : bbc.com