Penanganan Covid-19 Ala Korea Selatan Layak Jadi Panutan?

0
637

Di sebuah area parkir mobil, yang berada di balik sebuah rumah sakit di Seoul, Rachel Kim menurunkan kaca mobilnya dan menjulurkan lidah. Pekan lalu, perempuan berusia 45 tahun itu bepergian ke Daegu, daerah dengan kasus virus corona tertinggi di Korea Selatan.

Kini, Kim batuk parah dan demam. Karena khawatir dengan kondisi kesehatannya, dia memutuskan menjalani tes Covid-19 di salah satu tempat pengujian drive-through.

Dua orang berpakaian serba putih, kacamata pelindung, dan masker bedah sudah siap menyambut Kim.

Sebatang swab yang digunakan untuk mengumpulkan sampel cairan dan dahak dimasukkan ke mulut dan tenggorokannya. Cairan itu kemudian ditempatkan secara hati-hati ke dalam sebuah ampul.

Selanjutnya, bagian tersulit. Batang swab yang baru, dimasukkan ke dalam hidung Kim. Perempuan itu memicingkan matanya dan tampak tidak nyaman. Namun, semua proses tersebut selesai hanya dalam hitungan menit.

Kim menutup kembali jendela mobilnya dan melanjutkan perjalanan. Dia akan dihubungi melalui telpon jika hasilnya positif, atau dikirimkan pesan teks melalui ponsel jika hasilnya negatif.

Ruang tekanan negatif

Hampir 20.000 orang menjalani tes virus corona setiap hari di Korea Selatan, lebih banyak per kapita dibanding negara manapun di dunia.

Pemrosesan hasil tes pun tidak menunggu waktu lama. Sampel dari hasil pemeriksaan Kim, misalnya, langsung dikirimkan ke laboratorium dekat tempat pengambilan sampel. Di sana, para staf laboratorium bekerja bergiliran selama 24 jam sehari guna memprosesnya.

Jika upaya membatasi penyebaran virus corona diibaratkan peperangan, laboratorium-laboratorium inilah garis depannya.

Korsel telah menciptakan jaringan 96 laboratorium milik pemerintah dan swasta untuk menguji keberadaan virus corona di antara individu-individu.

Para pejabat kesehatan meyakini pendekatan ini menyelamatkan nyawa banyak orang. Tingkat kematian akibat virus corona di Korsel adalah 0,7%. Adapun tingkat kematian akibat virus corona di dunia menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mencapai 3,4% — namun sejumlah ilmuwan memperkirakan jumlahnya lebih rendah karena tidak semua kasus dilaporkan.

Saya menyambangi laboratorium Green Cross di luar Seoul ketika kumpulan sampel-sampel baru tiba untuk diproses. Dr Oh Yejin mengantarkan kami untuk melihat kondisi di laboratorium. Langkahnya terhenti pada suatu pintu dan dia menegaskan kami tidak diizinkan masuk melalui pintu itu.

“Rangkaian tes berlangsung di ruang tekanan negatif ini,” ujarnya. “Keadaan di ruang itu membuat satu tetes pun dari sampel tidak bisa lolos.”

Di dalam ruangan, dua dokter berpakaian baju pelindung berwarna kuning berjalan ke sana ke mari. Mereka mengambil sejumlah ampul berisi sampel dan langsung bekerja.

Di sebelah kami, puluhan mesin mengeluarkan bunyi. Mesin-mesin itu adalah penguji PCR (polymerase chain reaction) yang mencari keberadaan Covid-19 pada sampel.

Keseluruhan proses, dari ampul berisi sampel hingga didapat hasil tes mencapai lima sampai enam jam.

Menarik pelajaran dari Mers

Profesor Gye Cheol Kwon, selaku ketua Yayasan Laboratorium Obat, menyebut kecepatan proses itu adalah sifat “bali bali” khas Korea. Bali berarti cepat dalam bahasa Korea.

Karena orang-orang Korsel bekerja dengan cepat, dalam 17 hari negara itu mampu merancang dan mewujudkan tes virus corona serta mendirikan jaringan lab di seluruh wilayah.

Namun, sifat kerja cepat bukan satu-satunya faktor yang menggerakkan Korsel. Pengalaman pahit juga punya peranan.

“Kami belajar mengenai risiko penularan baru dan dampaknya dari pengalaman sindrom Pernapasan Timur Tengah (Mers) pada 2015 lalu,” kata Prof Kwon.

Saat wabah itu berlangsung, 36 orang meninggal di Korsel. Kejadian tersebut memaksa pemerintah meninjau ulang pendekatan terhadap penyakit menular. Pusat Pengendalian Penyakit Korsel bahkan mendirikan divisi khusus untuk bersiap atas hal terburuk. Persiapan itu kini terbayar.

“Saya pikir deteksi pasien secara dini dengan tes akurat disusul dengan isolasi bisa menurunkan tingkat kematian dan mencegah virus menyebar,” ujar Prof Kwon.

“Belajar dari masa lalu dan menyiapkan sistem dari jauh hari mungkin adalah kekuatan utama untuk mengatasi bencana jenis baru ini,” imbuhnya.

Suasana kerja di Laboratorium Green Cross berjalan sepi tanpa peristiwa berarti sampai awal Februari lalu, tatkala seorang pasien—kini dikenal di Korsel dengan sebutan ‘pasien 31’—teruji positif mengidap Covid-19 tanpa pernah bepergian dan tidak berkontak dengan pasien corona.

Dia adalah anggota Gereja Yesus Shincheonji, sebuah sekte keagamaan dengan lebih dari 200.000 anggota.

Kasus ini memulai aksi cepat menemukan sumber wabah dan melacak siapa saja yang terpapar. Jaringan lab Korsel diuji. Keletihan para staf pun menjadi masalah.

Tapi kini mereka bekerja sif dan Dr Oh mengatakan kepada saya, dengan gembira, bahwa dia akhirnya bisa tidur.

Panutan

Tidak ada kekurangan alat uji di Korsel. Empat perusahaan mendapat izin pemerintah untuk membuatnya. Dengan demikian, Korsel kini punya kemampuan menguji 140.000 sampel setiap pekan.

Prof Kwon meyakini akurasi tes Covid-19 di Korsel sekitar 98%. Kemampuan negara ini untuk menguji begitu banyak orang dalam waktu bersamaan menjadikan Korsel sebagai panutan bagi negara lainnya yang juga tengah berperang melawan virus corona.

Kendati demikian, Korsel tak luput dari kesalahan.

Setidaknya terdapat dua pasien yang meninggal dunia saat menunggu mendapat ranjang rumah sakit di Daegu, kota yang terpapar paling parah.

Reaksi awal Korsel adalah mengarantina semua orang yang terinfeksi virus di rumah sakit. Namun, kini para dokter memahami cara jitu, yakni menangani pasien dengan gejala ringan di kawasan permukiman sehingga ranjang rumah sakit bisa ditempati pasien yang memerlukan penanganan segera.

“Kami tidak bisa mengarantina dan merawat semua pasien. Mereka yang punya gejala ringan harus tinggal di rumah dan mendapat penanganan,” jelas Dr Kim Yeon-Jae, spesialis penyakit menular dari Korea National Medical Centre.

“Kami harus mengubah tujuan akhir kami, yaitu menurunkan tingkat kematian. Jadi negara lain seperti Italia yang banyak pasiennya, harus mengubah strategi mereka juga.”

Di manapun virus corona menjangkiti orang dalam jumlah banyak, tempat pengujian yang bongkar-pasang langsung tersedia.

Pekan ini di Seoul, ada wabah massal di sebuah call centre. Sejumlah tenaga medis dikumpulkan di luar gedung, dan segera mengambil sampel swab dari ratusan karyawan di dalam gedung.