Robot “Crover” diciptakan sebagai alat penggali otomatis biji-bijian yang dapat menembus hingga kedalaman 10 meter dan melaporkan kembali tingkat kelembapan, guna mencegah perkembangbiakan serangga dan jamur. Robot ini dapat membantu mengurangi limbah makanan dan menyelamatkan manusia.

Robot Crover dapat menembus ke dalam tumpukan biji-bijian yang padat. Robot ini dapat beroperasi di lingkungan yang sulit dilalui dan padat. Robot ini masih dalam tahap pengujian. Namun, setelah tahap ini selesai, robot crover dalam menembus tempat penyimpanan biji-bijian hingga kedalaman 10 meter.

Lantas, apa gunanya? Bagi manusia, menangani biji-bijian sangat berbahaya. Kematian petani kerap terjadi akibat petani jatuh ke dalam tempat biji-bijian hingga mengalami sesak napas. Laporan serikat kerja di Inggris menyatakan, terdapat dua orang yang meninggal antara tahun 2015 dan 2020 akibat kecelakaan tersebut.

Robot ini merupakan hasil penelitian S3 dari direktur perusahaan Crover, Lorenzo Conti, yang pada waktu itu menemukan teknologi untuk menggerakkan robot Crover. Hal ini menjadi tantangan bagi perusahaan yang tergolong baru ini, karena permukaan granular (butiran-butiran lembut) sulit untuk dilalui.

“Masalah yang biasa terjadi adalah ketika terbentuk kantong udara di bawah permukaan, yang diakibatkan oleh lengkungan rantai di bawah biji-bijian. Jika Anda berjalan di atas permukaan dan rantai itu pecah, Anda bisa merasakan seperti terjatuh dalam pasir hisap dan dapat tenggelam. Tidak ada yang dapat menyelamatkan Anda, karena Anda hanya memiliki beberapa detik. Walau ada yang berusaha menarik Anda, hal ini dapat menghancurkan tubuh Anda,” jelas Lorenzo Conti.

Di seluruh dunia, biji-bijian yang dipanen disimpan dalam jumlah besar, yang sering disebut silo. Biji-bijian ini bisa tersimpan selama berbulan-bulan sebelum akhirnya terjual, yang bisa menyebabkan serangga atau jamur berkembang biak.

Biji-bijian yang tidak layak untuk dikonsumsi manusia tidak bisa masuk ke dalam rantai makanan, yang berarti tidak mendatangkan penghasilan bagi petani, juga menimbulkan limbah makanan dalam jumlah yang besar.

“Berdasarkan data dari Organisasi Pangan dan Pertanian PBB, dalam skala global, lebih dari 630 juta ton atau setara dengan lebih dari 20 persen biji-bijian yang ada dalam tempat penyimpanan akan terbuang,” ujar Lorenzo Conti.

Di dekat perbatasan Skotlandia, petani bernama Robert Neill melakukan pemeriksaan mingguan terhadap biji-bijian yang disimpannya.

Ini adalah pekerjaan yang lama untuk dilakukan dan melelahkan secara fisik, ia harus meneliti biji-bijian di gudang penyimpanannya. Ia mencari spot di mana terjadi peningkatan suhu dan kelembapan, di mana dalam kondisi ini serangga dan jamur berkembang biak.

Dia masuk ke dalam tempat penimpanan biji-bijian dan membenamkan kaki setinggi lututnya. Jika ditemukan spot dengan suhu yang tidak sesuai, maka perlu ada tindakan segera.

“Saat ini kami menyimpan sekitar 1.500 ton biji-bijian di gudang yang siap untuk dijual kepada pelanggan. Masalah yang timbul saat menyimpan biji-bijian adalah (terkait) kadar air dan suhu. Jika tidak disimpan dengan benar, suhu dan kadar air meningkat, sehingga serangga mulai berkembangbiak dan hidup, zat mikotokin dan jamur mulai tumbuh di dalam biji-bijian, hingga membusuk. Ini merupakan kerugian total bagi petani seperti dirinya. Tidak ada pendapatan. Biji-bijian tersebut tidak bisa masuk ke dalam rantai pasok pangan manusia dan menjadi masalah besar,” ujar Robert Neill.

Proses manual yang dilakukan manusia ini juga bisa menimbulkan kesalahan, seperti misalnya ada spot yang terlewatkan atau tidak sempat dilakukan pengecekan karena dikejar oleh waktu. Tidak diperlukan waktu yang lama sampai akhirnya biji-bijian ini terpaksa harus dibuang.

“Masalahnya, tempat serangga berkembang biak tidak terlihat dengan mata telanjang. Spot buruknya mungkin berada di dasar tumpukan biji-bijian yang menggunung, dan bisa berkembang keluar dalam hitungan satu hingga 3 minggu. Kalau sudah sampai di luar, sudah terlambat. Dan untuk mendapatkan sampel dari timbunan biji-bijian atau dari silo cukup sulit,” tambah Robert Neill.

Di sinilah robot Crover berperan. Rencananya adalah untuk membuat robot ini sepenuhnya otomatis. Informasi yang masuk dapat diterima langsung oleh petani melalui aplikasi ponsel pintar dan robot dapat mengikuti rute yang telah ditentukan sebelumnya. Namun, memasuki lapisan granular yang padat tidak semudah itu.

Kepala bagian teknis di perusahaan Crover, Artem Lukianov bertanggung jawab pada uji coba robot ini. Ia menjelaskan, pembukaan atau penarikan kembali sirip pada sisi roda robot itu dapat menciptakan tekanan dan hambatan yang berbeda di bawah permukaan biji-bijian yang memungkinkan robot itu bisa bergerak di atas dan di bawah permukaan silo.

“Robot itu begerak dan mengambil biji-bijian dengan rodanya. Saat mengarahkan siripnya, robot itu akan mulai menangkap biji-bijian dan bergerak di bawahnya. Hal ini menciptakan adanya gesekan. Jika kita memindahkan siripnya di bagian atas robot, berarti bagian bawah permukaannya halus dan robot itu akan bergerak jauh lebih lambat. Jika siripnya dipindahkan ke belakang, maka robot ini akan mengambil hanya sedikit biji-bijian di bagian bawah dan memindahkannya ke atas, sehingga robot ini dapat mulai bergerak ke dalam,” jelas Artem Lukianov.

Sensor mungil pada sisi robot itu memantau kondisi biji-bijian, baik suhu dan kelembapannya, secara langsung.

Kemungkinan versi akhir dari robot ini akan bisa diakses dengan menggunakan kabel listrik. Dengan begitu robot ini tidak hanya bisa beroperasi selama berjam-jam, tetapi juga dapat membantu pemulihan jika terjadi kerusakan.

Crover berencana untuk meluncurkan versi komersial robot ini pada musim panas mendatang. Namun, harganya belum dirilis.