Sketsa langka milik Leonardo Da Vinci diduga menunjukkan bahwa jenius asal Italia itu memahami lebih dulu ilmu gravitasi ketimbang fisikawan Albert Einstein.

Da Vinci merupakan seorang pelukis, arsitek, penemu, ahli anatomi, insinyur, hingga ilmuwan multibidang. Ia menuliskan belasan buku catatan rahasia dengan penemuan fantastis serta pengamatan anatomi yang detil.

Buku sketsanya juga berisi desain sepeda, helikopter, tank, dan pesawat terbang. Lebih dari 13 ribu halaman sketsa ini kemudian dikumpulkan menjadi sebuah kolase, namun kurang dari sepertiganya yang selamat.

Para peneliti dari Institut Teknologi California, AS, kemudian mengungkap bahwa salah satu sketsa Da Vinci menunjukkan segitiga yang dibentuk oleh partikel mirip pasir yang mengalir dari toples.

Butir-butir yang jatuh pada toples menggambarkan percobaan untuk menunjukkan bahwa gravitasi adalah bentuk percepatan.

Hal itu diungkap Da Vinci lebih dari 400 tahun sebelum Einstein melakukannya.

“Kami tidak tahu apakah da Vinci melakukan eksperimen lebih lanjut atau menyelidiki pertanyaan ini lebih dalam,” kata penulis utama Mory Gharib, seorang profesor aeronautika dan teknik medis Institut Teknologi California (Caltech).

Fakta bahwa Da Vinci bergulat dengan masalah ini di awal 1500-an menunjukkan seberapa jauh pemikirannya berkembang.

Albert Einstein pertama kali merumuskan gagasan gravitasi dan percepatan adalah sama, yang disebut equivalence principle pada 1970. Ia mengembangkan gagasan dari penemuan hukum universal tarikan gravitasi karya Isaac Newton pada 1687.

Bahwa, setiap objek di alam semesta menarik satu sama lain dengan gaya yang terkait dengan massa dan berbanding terbalik dengan kuadrat jarak yang memisahkan mereka.

Sementara, pernyataan hukum jatuh bebas sudah dicetuskan oleh Galileo Galilei 1604. Bahwa, tanpa hambatan udara, semua massa jatuh dengan percepatan yang sama.

Dari mana sketsa itu?

Dikutip dari LiveScience, Gharib sedang meneliti salinan digital dari buku catatan ini untuk mendiskusikan studi da Vinci tentang dinamika aliran dengan para mahasiswanya.

Ketika dia melihat sketsa di halaman Codex Arundel, sebuah buku catatan yang dibuat antara 1480 hingga 1518, terdapat segitiga yang dibentuk oleh partikel mengalir dari toples bergerak, yang disertai dengan frasa bertuliskan tulisan tangan Da Vinci.

“Yang menarik perhatian saya adalah ketika dia menulis ‘Equatione di Moti’ (diterjemahkan oleh para peneliti sebagai “kesetaraan gerakan”) pada sisi miring salah satu sketsa segitiganya – yang merupakan segitiga siku-siku sama kaki,” kata Gharib.

“Saya menjadi tertarik untuk melihat apa yang dimaksud Leonardo dengan kalimat itu,” sambungnya.

Gharib dan rekan-rekannya menemukan Da Vinci sedang menggambarkan air atau pasir yang dibuang dari kendi saat bergerak sepanjang jalan lurus sejajar dengan tanah.

Catatan Da Vinci memperjelas bahwa dia tahu partikel akan berakselerasi ke bawah percepatan ini disebabkan oleh gravitasi.

Jika kendi bergerak dengan kecepatan konstan, garis yang dilacak oleh partikel yang jatuh akan menjadi vertikal.

Namun, jika dipercepat dengan kecepatan konstan, partikel akan membentuk garis lurus yang membentuk sisi miring dari sebuah segi tiga.

Nyatanya, da Vinci mengamati, jika kendi berakselerasi untuk melepaskan tetesan dengan kecepatan yang sama dengan gravitasi yang mempercepatnya ke tanah, sebuah segitiga sama sisi akan terlacak. Ini menjadi petunjuk utama dari prinsip ekuivalensi.

Da Vinci mencoba merumuskan pengamatannya menjadi persamaan atau rumus. Para peneliti pun menemukan di titik mana Da Vinci ‘tersesat’.

“Apa yang kami lihat adalah bahwa Leonardo bergulat dengan ini, tetapi dia memodelkannya sebagai jarak benda jatuh [dari titik jatuh benda] sebanding dengan 2 pangkat t (dengan t mewakili waktu), bukannya sebanding dengan t kuadrat,” kata salah satu penulis studi Chris Roh, menggambarkan rumus jarak dan waktu versi Da Vinci.

“[Rumus] itu salah, tapi kami kemudian mengetahui bahwa dia menggunakan persamaan yang salah ini dengan cara yang benar,” kata profesor teknik biologi dan lingkungan di Cornell University itu.