Hewan ternak yang tidak dikandangkan dan hewan mamalia liar seperti anjing dan tikus menjadi tantangan dalam pengendalian penyakit schistosomiasis atau demam keong di Sulawesi Tengah. Ketergantungan obat pada luar negeri semakin memperparah situasi itu.

Dinas Pertanian Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah, mengungkapkan, terbatasnya ketersediaan praziquantel menyebabkan upaya pengobatan hewan ternak yang terinfeksi schistosomiasis tidak berlangsung maksimal dalam kurun waktu dua tahun terakhir. Hingga kini, karena belum diproduksi di dalam negeri, suplai obat itu masih berasal dari luar negeri.

“Karena di Indonesia kan kasus begitu hanya ada di Napu sehingga tidak tersedia obat-obat itu. Kalau toh ada impor, (harganya) mahal dan Pemda (Pemerintah Daerah) sampai saat ini belum mampu,” ungkap Kepala Dinas Pertanian Kabupaten Poso, Suratno, kepada VOA saat ditemui beberapa waktu lalu.

Suratno mengkhawatirkan, ketersediaan obat yang tidak memadai dapat meningkatkan prevalensi kasus infeksi pada hewan ternak di dataran tinggi Napu dan Bada di wilayah Kabupaten Poso yang sebelum masa pandemi COVID-19 berhasil diturunkan menjadi empat persen.

Masyarakat Didorong Kandangkan Hewan Ternak

Dinas Pertanian Kabupaten Poso, menurut Suratno, terus mengimbau masyarakat setempat untuk mengandangkan hewan ternak, seperti sapi dan kerbau, untuk mencegah meluasnya kasus demam keong. Namun, hingga kini, masyarakat cenderung mengabaikan imbauan itu dan lebih suka melepas ternaknya secara bebas di padang penggembalaan.

Bila tidak dikandangkan, kata Suratno, hewan ternak yang terinfeksi schistosomiasis akan menyebarkan telur cacing berbahaya melalui tinja mereka. Telur cacing yang menetas di air tawar yang tergenang akan memasuki hospes perantara yaitu siput atau keong oncomelania hupensis lindoensis, yang merupakan hewan endemik di Sulawesi Tengah. Manusia berpeluang terinfeksi bila beraktivitas di lokasi keong itu tanpa alat pelindung diri, begitu pula dengan hewan mamalia yang merumput dan meminum air di lokasi keong itu.

“Hewan yang dimaksud bukan hanya ternak , tapi juga hewan liar, contohnya anjing, dan tikus. Itu paling sulit kami atasi, Tapi, sepanjang ternak tidak berkeliaran di tempat berair, itu agak aman,” jelas Suratno.

Pada tahun 2022, Dinas Pertanian Kabupaten Poso menggelar sejumlah program untuk mencegah infeksi pada hewan ternak yaitu dengan membuat sumur dangkal dan mengoptimalisasi lahan rawa sehingga tidak ada lahan yang tergenang.

Potensi Infeksi Pada Manusia Masih Tinggi

Dalam kesempatan terpisah, Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Tengah, dokter I Komang Adi Sudjendra mengakui infeksi serkaria schistosoma penyebab schistosomiasis terhadap manusia di dataran tinggi Napu, Bada dan Lindu masih akan terus terjadi bila telur cacing yang bersumber dari feses hewan ternak dan tikus liar yang terinfeksi masih terus tersedia di lingkungan itu.

“Kalau pada manusia terus diintervensi kita lihat lagi pada hewan bagaimana? Kan produksi telurnya bukan hanya oleh manusia saja, hewan itu apa sudah dikandangkan, apa dia liar, kan begitu,” kata I Komang, Sabtu (11/2).

Menurutnya, dibutuhkan kerja sama lintas sektor untuk melakukan rekayasa lingkungan di lokasi fokus keong. Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Tengah mengungkapkan bahwa sebanyak 257 orang terinfeksi schistosomiasis pada tahun 2022 berdasarkan hasil survei pemeriksaan tinja yang dilakukan sekali dalam setahun.

Temuan kasus infeksi pada manusia itu nampaknya akan berpengaruh pada target capaian eradikasi pada tahun 2025 yang mensyaratkan tidak ada satu pun kejadian schistosomiasis pada manusia, hewan mamalia dan keong perantara selama lima tahun berturut-turut.

Indonesia hingga kini menjadi satu-satunya negara di kawasan Asia Tenggara yang masih memiliki masalah schistosomiasis. Kasus schistosomiasis di Sulawesi Tengah ditemukan pertama kali pada tahun 1937. Namun upaya pengendaliannya baru mulai dilakukan pada tahun 1973.