India, negara pemasok 40 persen beras dunia, menyetop ekspor hasil panennya mulai kemarin. Sebuah contoh nyata dampak krisis iklim terhadap pangan.

Kebijakan ini dikhawatirkan memicu kenaikan harga (inflasi) pangan dunia. Sementara, Thailand dan Vietnam tidak memiliki cukup persediaan untuk menutupi kekurangan itu.

Terlebih, harga beras ekspor Vietnam sudah melonjak ke level tertinggi buntut kerisauan kurangnya pasokan akibat El Nino.

Dikutip dari Reuters, Pemerintah India memberlakukan larangan itu setelah harga beras eceran naik 3 persen dalam sebulan akibat hujan lebat yang menyebabkan kerusakan signifikan pada tanaman.

Hujan deras yang merendam sawah itu terlacak di bagian utara India, termasuk Punjab dan Haryana. Efeknya, petani mesti menanam lagi bibit padi sambil menunggu air surut.

Peringatan BMKG

Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati mengungkap ancaman krisis pangan sebagai dampak dari perubahan iklim “bukan sekadar isapan jempol.”

Menurut dia, kencangnya laju perubahan iklim berdampak pada ketahanan pangan nasional akibat hasil panen menurun hingga gagal tanam.

“Suhu atau temperatur bumi secara global saat ini naik 1,2 derajat Celsius. Angka tersebut dipandang sebagai angka yang kecil, padahal itu adalah angka yang besar dan mematikan. Banyak fenomena ekstrem, bencana hidro-meteorologi yang diakibatkan pemanasan global tadi,” ungkap Dwikorita, dalam siaran pers BMKG, Kamis (6/7).

Dia mengatakan bencana kelaparan sebagaimana yang diprediksi organisasi pangan dunia FAO akan terjadi di 2050 “adalah ancaman nyata” buat seluruh negara-negara dunia.

“Tahun 2050 mendatang jumlah penduduk dunia diperkirakan menembus angka 10 miliar. Jika ketahanan pangan negara-negara di dunia lemah, maka akan terjadi bencana kelaparan akibat jumlah produksi pangan yang terus menurun sebagai dampak dari perubahan iklim,” imbuhnya.

Dwikorita menuturkan tidak sedikit yang beranggapan bahwa ancaman perubahan iklim dan krisis pangan belum terlalu terlihat di Indonesia.

Dalihnya adalah karena ketersediaan sumber daya alam masih cukup melimpah dan kondisi geografis Indonesia yang memungkinkan produksi pertanian tetap berjalan sepanjang tahun.

Namun, kata Dwikorita, Indonesia bisa terlambat mengantisipasi bencana kelaparan 2050 jika situasi iklim global saat ini tidak direspons secara serius.

Menurutnya, jika tidak ada intervensi kebijakan, potensi kerugian ekonomi di Indonesia (2020-2024) mencapai Rp544 triliun akibat dampak perubahan iklim.

Lantara itu, kebijakan ketahanan iklim menjadi salah satu prioritas yang dinilai mampu menghindari potensi kerugian ekonomi sebesar Rp281,9 triliun hingga tahun 2024.

“Berdasarkan hitung-hitungan Kementerian Keuangan, kerugian ekonomi akibat bencana diperkirakan mencapai rata-rata Rp22,8 triliun per tahunnya,” ujarnya.