Peneliti di Pusat Riset Kebencanaan Geologi di Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Iyan Turyana mengungkap tak ada pembaruan pemasangan teknologi pendeteksi tsunami buoy.
Ia menjelaskan alat deteksi yang disebar di enam titik lepas pantai itu sudah tidak lagi beroperasi atau tanpa kejelasan.
“Terakhir Desember 2021 ada enam buah Buoy, dideploy saat instansi kami masih bernama BPPT (Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi). Setelah menjadi BRIN kemudian pendanaan untuk buoy itu tidak dilanjutkan oleh BRIN,” kata dia kepada CNN.com, Rabu (9/8).
Sebelumnya, berbagai ahli merilis studi pada Oktober 2022 soal potensi tsunami hingga 34 meter di selatan Jawa dan Sumatra buntut megathrust.
Iyan melanjutkan BRIN saat ini sudah tidak lagi mengucurkan dana baik untuk pembuatan Buoy maupun sekadar untuk perawatan.
“Enam Buoy itu terbuang di laut tidak bisa dibawa bahkan sudah tidak beroperasi lagi karena umurnya hanya 1 tahun,” katanya.
Padahal, kata dia, teknologi deteksi tsunami sudah diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 93 tahun 2019 tentang Penguatan dan Pengembangan Sistem Informasi Gempa Bumi dan Peringatan Dini Tsunami.
Iyan menjelaskan menurut Perpres itu seharusnya BRIN bisa meminta dana untuk pengembangan atau hanya sekadar pemeliharaan.
Kendati sudah tidak lagi beroperasi, Iyan menyebut masih ada deteksi tsunami yang bisa digunakan, namun dengan platform kabel.
“Satu deteksi kabel yaitu di NTT di Labuan Bajo, itu yang berfungsi dan sampai sekarang masih berfungsi sistem kabel ini,” katanya.
Penggunaan deteksi tsunami lewat kabel itu disebut Iyan terbilang murah karena hanya mengeluarkan biaya data saja.
Alat lain
Meski tujuh buoy milik BRIN telah mati. Badan Meteoreologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) mengungkap sistem peringatan dini tsunami tetap bisa beroperasi masih ada ratusan alat lain yang masih berfungsi.
Rinciannya, 240 unit alat tide gauge buat deteksi tsunami, 5 unit tsunami gauge, dan 36 data Automatic Weather Station (AWS).
“Kita punya 320 lebih alat sensor yang masih beroperasi. Kalau mati cuma tujuh unit, itu nggak berpengaruh banyak,” kata Koordinator Bidang Informasi Gempabumi dan Peringatan Dini Tsunami BMKG Iman Fatchurochman, dikutip dari detikcom, Jumat (3/2)
BMKG mengoperasikan Ina-TEWS atau Indonesia-Tsunami Early Warning System sejak 2008. Di dalamnya, data-data yang dipasok dari alat-alat berbagai instansi, termasuk data-data dari buoy milik BRIN, yang dulunya dikelola BPPT.
“Sejak dibangun buoy itu, banyak terjadi kehilangan buoy, utamanya akibat vandalisme dan kerusakan,” kata Iman.
Buoy-buoy itu ada di lautan dekat Bengkulu, laut dekat anak Gunung Krakatau, Selat Sunda, laut selatan Pangandaran, selatan Jawa Timur, laut selatan Bali, dan laut selatan Waingapu di Sumba Timur.
“Dalam perjalanannya, di BMKG sendiri kita jarang sekali mendapatkan data rekaman tsunami dari buoy itu sendiri sebetulnya. Karena, pas ada tsunami buoy-nya sudah enggak ada (rusak/mati),” aku Iman.
Teknologi murah
Sebelumnya, Kepala Pusat Riset Kebencanaan Geologi BRIN Adrin Tohari mengakui pihaknya mengevaluasi teknologi Buoy, atau nama resminya InaBuoy, supaya lebih efektif dari segi pembiayaan.
“Berkaitan dengan buoy kita melihat perlu mengevaluasi supaya lebih, katakan low-cost, bisa efektif dan sebagainya, sehingga teknologi yang kita hadirkan bisa langsung di manfaatkan,” ujar dia di kantor BRIN, Rabu, (22/2).
“Jadi kita enggak berhenti di sini, kita terus berinovasi untuk mendukung kemandirian teknologi kebencanaan,” akunya.
Kepala Organisasi Riset Elektronika dan Informasi BRIN Budi Prawara menjelaskan satu perangkat Buoy yang dilepas di sejumlah perairan Indonesia bisa merogoh uang negara hingga Rp1 miliar per unit.
“Harga buoy-nya sendiri aja komplit sistem di atas Rp1 miliar, belum deploy-nya itu pakai kapal, itu operasionalnya segitu,” kata dia.
Lokasi buoy pendeteksi tsunami itu antara lain disebar di lautan dekat Bengkulu, laut dekat anak Gunung Krakatau, Selat Sunda, laut selatan Pangandaran, selatan Jawa Timur, laut selatan Bali, dan laut selatan Waingapu di Sumba Timur.
“Memang ini mau kita tarik, kalau yang di Gunung Krakatau sudah kita tarik karena memang itu ada kendala posisinya berubah terus,” tandas Budi, saat itu.
Sumber : CNN [dot] COM