Sektor industri batik di Indonesia ikut terkena imbas negatif dari pandemi COVID-19. Lebih memprihatinkan lagi, imbas itu telah mengganggu keberlangsungan mata pencaharian para perajin batik dan bahkan mendorong sebagian mereka untuk beralih profesi.

Dampak negatif pandemi COVID-19 dirasakan di berbagai sektor industri, termasuk di dunia perbatikan, di mana sebagian perajin terpaksa meninggalkan keahlian membatik yang mereka peroleh secara turun menurun dan berusaha mengais rezeki dalam bidang lain demi mata pencaharian mereka.

Dalam upaya melestarikan dan mengembangkan batik Indonesia sekaligus untuk mempertahankan dan membangkitkan kecintaan masyarakat Indonesia pada batik, terutama di kalangan muda, Yayasan Batik Indonesia (YBI) menggelar berbagai kegiatan, terutama pada seputar perayaan Hari Batik Nasional tanggal 2 Oktober lalu. Dengan kecintaan masyarakat pada batik, maka warisan budaya bangsa yang telah mendapat pengakuan UNESCO sebagai Intangible Cultural Heritage of Humanity atau “Warisan Budaya Tak Benda” ini juga diharapkan ikut bangkit dan berkembang.

Gita Pratama adalah ketua umum YBI. Dia menjelaskan tujuan yayasan, terutama terkait berbagai tantangan yang dihadapi semasa pandemi.

“Tujuan dari yayasan batik ini menggalang kesatuan nasional untuk melestarikan, melindungi, mengembangkan, memasyarakatkan batik nasional sebagai warisan budaya bangsa kita, (dan) juga memajukan batik dan usaha kerajinan batik. Saya ingin sekali kalau batik ini bisa maju, terutama tidak hanya di Indonesia tapi ke luar negeri juga, yang pada saat ini keadaannya lagi berat akibat pandemi.”

Dr. H. Komarudin Kudiya adalah seorang pengusaha batik yang bersama para pejarin dan pengusaha batik lainnya pada tahun 2017 mendirikan Asosiasi Perajin dan Pengusaha Batik Indonesia (APPBI). Pria asal Cirebon yang juga menjadi dosen di ITB ini menyampaikan berbagai tantangan yang dihadapi oleh perajin dan pengusaha batik di Indonesia, termasuk gejolak harga bahan baku dan kelangkaan tenaga kerja terampil akibat pandemi.

“Delapan puluh persen perajin batik telah berganti profesi. Mereka berpindah ke industri-industri lain atau pekerjaan-pekerjaan lain yang sekiranya bisa menghidupi diri mereka. Nah, kita kehilangan pekerja-pekerja yang memiliki motorik halus, yang bisa bekerja dengan terampil, dengan dedikasi yang tinggi, loyalitas yang tinggi, keterampilan yang mumpuni itu berganti sekarang. Maka, Alhamdulillah ada Yayasan Batik Indonesia yang selalu memberikan kesempatan kepada para perajin, melakukan pembinaan,” ujar Komar.

Komar mengaku bahwa APPBI “benar-benar merupakan mitra YBI karena yayasan itu pada dasarnya menaungi kerajinan batik Indonesia dan oleh karena itu APPBI adalah bagian yang melengkapi dan mendukung YBI.”

Gita menambahkan bahwa tantangan lainnya adalah bagaimana mempopulerkan batik di kalangan muda.

“Saat ini saja untuk masuk ke generasi yang lebih muda kita masih sulit untuk mempopulerkan ke mereka. Untuk ke senior dan sampai ke milenial mungkin sudah oke, tapi untuk mempopulerkan ke Gen Z kita masih sulit. Kalau itu nanti nggak masuk ke mereka kan lama-lama juga bisa hilang, maksudnya meskipun ada batik, tapi kalau nggak ada yang pakai, nggak ada yang cinta, nggak ada yang sayang ya sedih juga. Mereka merasa batik itu masih berat dan tidak nyaman.”

Pendapat senada disampaikan oleh Yakub Broto yang telah puluhan tahun berkecimpung di dunia perbatikan dan kini menjabat sebagai sekretaris YBI.

“Tantangan yang terberat kita adalah memasyaratkan batik di kalangan anak-anak. Kalau yang dewasa sampai orang tua sedikit banyak sudah paham tentang batik. Yang anak-anak ini yang khususnya bener-bener harus kita perkuat upaya memasyarakatkannya sehingga ada regenerasi, baik itu bagi pengrajin maupun pemakai itu terus berlanjut,” tutur Yakub.

Dr. Komarudin, yang juga seorang pengusaha batik, setuju perlunya regenerasi. “Kita membutuhkan regenerasi, bukan regenerasi perajinnya saja, tapi juga pengguna batik, pemakai batik, pecinta batik.”

Komar menambahkan bahwa generasi muda sekarang harus mulai dikenalkan dengan apa yang disebutnya “batik asli dan batik tiruan, dan bahwa harga batik tertentu sebenarnya cukup terjangkau.”

“Jadi kami itu selalu mensosialisasikan bahwa batik itu sebuah proses yang dibuat dengan menggunakan lilin panas sebagai perintah warna, itu penting. Kemudian, bahwa batik itu tidak mahal. Batik itu dari mulai Rp100.000 pun ada, batik-batik tertentu. Kalau misalkan anak-anak muda membeli batik, itu artinya paling tidak itu menghidupi delapan tenaga terampil yang mengerjakan batik. Artinya, multilayer effect-nya di batik ini sangat luar biasa,” imbuhnya.

Mengenai peluang terkait pelestarian dan pemasaran batik, baik di tataran nasional maupun kancah internasional, Komar merasa bahwa batik Indonesia tetap berpotensi unggul karena berbagai kelebihannya. “Para perajin batik yang tergabung dalam APPBI maupun YBI merasa yakin dan optimis bahwa batik Indonesia tidak akan terkalahkan.”

“Tidak akan tereliminasi dalam dunia perbatikan karena semakin ke depan kami pun – karena saya juga satu kaki saya ada di dunia pendidikan, saya sebagai pendidik – terus mengembangkan teknologi terbaru. Kami menemukan cara bagaimana membatik dengan tidak menggunakan canting dengan menggunakan pendulum dan ini adalah temuan terbaru. Jadi artinya, selain tadi, teknologinya, kita juga memiliki fotonik batik. Fotonik batik itu adalah sebuah mesin ketika kondisi hujan, mendung, malam hari, ketika kita menginginkan warna-warna yang soft, yang pastel, maka alat itu bisa menggantikan ultra violet dan energi listrik yang dihasilkan dari matahari,” jelasnya.

Komar menambahkan bahwa ada juga alat pengenal untuk membedakan antara batik cap dan batik tulis, antara batik dan bukan batik. “Nah, ini masuknya di dunia pendidikan yang melahirkan berbagai macam teknologi,” tambahnya.

Mengingat kondisi kerajinan batik semasa pandemi, YBI menggunakan Hari Batik Nasional sebagai kesempatan untuk membangkitkan kembali kejayaan batik seperti sebelum pandemi. Gita Pratama mengatakan dengan tema “sebarkan kabar baik batik,” berbagai acara digelar untuk mengajak warga mencintai batik, salah satu peragaan busana batik dengan model siapa saja yang berminat, dengan tujuan menarik minat kelompok Generasi Z pada batik.

“Jadi kita bikin fashion show dengan cat walk yang panjangnya 600 meter untuk umum. Mereka boleh pakai batik apa saja. Kita gunakan bantuan influencer anak muda. Jadi kita masuk (Museum Rekor) Muri kemarin, sampai saat ini pun kita masih menyebarkan dulu kabar batik, pakai batik, pakai batik, pakai batik,” ujar Gita.

Sebagian peserta peragaan busana batik dengan cat walk sepanjang 600 meter pada perayaan Hari Batik Nasional tanggal 2 Oktober 2022 lalu (foto: courtesy).
Sebagian peserta peragaan busana batik dengan cat walk sepanjang 600 meter pada perayaan Hari Batik Nasional tanggal 2 Oktober 2022 lalu (foto: courtesy).

 

Yakub Broto mengatakan bahwa dengan UNESCO menjadikan batik Indonesia sebagai warisan budaya takbenda dan juga pemerintah Indonesia menetapkan tanggal 2 Oktober sebagai Hari Batik Nasional, maka euforia batik semakin semarak.

Untuk promosi batik, Komar mengakui peran YBI yang sering memfasilitasi pameran, baik di dalam negeri maupun di luar negeri, termasuk di Amerika Serikat, di mana dia pernah diminta untuk memberikan presentasi. Pemerintah, katanya, juga berperan besar, terutama Departemen Luar Negeri yang giat berpromosi melalui kantor-kantor perwakilan RI di seluruh dunia.

Menutup pembicaraan dengan VOA, Dr. Komarudin menegaskan optimismenya bahwa walaupun berbagai tantangan mungkin menghadang, namun batik Indonesia akan tetap unggul, jika pun ada pesaing dari luar negeri.

“Sampai kapan pun kalau masalah batik secara proses maupun ragam hias, dan estitekanya insyaallah akan bisa mengalahkan (batik luar negeri) karena mereka tenaga kerjanya mahal sekali sementara kalau di kita masyaallah sehari-hari kita itu kadang-kadang dengan Rp50.000 merasa sudah cukup,” pungkasnya.